It seems a dilemma when I meet you. I couldn’t do anything in front of
you.
Saya selalu mati gaya ketika bertemu dengan Anda. Ingatkah
Anda waktu bertemu di depan ruang itu? ketika saya sedang berada di hadapan
Anda yang hanya dibatasi oleh jendela berkaca putih, Anda melihat saya,
demikian juga saya. Namun, tak ada satu kata ataupun senyum yang bertandang.
Rasa nya miris bukan? Saya mengenal Anda, demikian dengan
Anda. Namun, Anda dan saya seolah tak saling melihat. Saya yakin keberadaan
Anda saat itu untuk melihat saya, bukan? Bahkan Anda ingin mengeluarkan sebuah
salam kepada saya. Namun, Anda hanya diam melihat saya, kemudian memalingkan
pandangan Anda ke yang lain.
Bagaimana mungkin hati ini tetap bersemi di kala tsunami
melanda?
Mungkin ini kesalahan saya yang tidak terlebih dahulu
menyapa Anda. Namun, inilah dilema yang saya rasakan. Saya tidak tahu harus
berbuat apa di depan Anda. Anda begitu dingin, sedangkan saya begitu panas.
Ibarat lagu Naif, air dan api, yang selalu bertolak belakang, tetapi saling
membutuhkan.
Menurut Anda, saya senang berkubang di lumpur coklat?
entah apa penilaian Anda terhadap diri saya. Mungkin Anda
sekarang menjadi begitu benci atau marah atau jijik dengan saya. Namun,
ketahuilah, saya tidak seperti yang Anda bayangkan. Saya tidak pernah ingin
mengabaikan Anda atau bahkan melupakan Anda. Keadaan yang membuat saya begitu
bodoh di depan Anda.
I wish you could feel what I feel.
Please call me, when you meet me.
Thanks. -_-“
Please call me, when you meet me.
Thanks. -_-“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar